KONDISI UMUM rumah gadang atau rumah asal hampir penjuru nagari di Sumatera Barat memprihatinkan. Sebagian besar sudah roboh, lapuk, dan hilang. Rumah gadang sebagai salah satu bentuk ikatan komunal atau pesukuan, nyaris tak berfungsi lagi. Apa yang menjadi faktor penyebabnya?
Pergeseran pola hidup masyarakat Minang menjadi salah satu penyebab mulai hilangnya pola dan fungsi-fungsi ruang di rumah gadang (rumah adat Minangkabau). Pergeseran itu tidak lepas dari meningkatnya aktivitas masyarakat Minang khususnya yang masih menggunakan rumah gadang sebagai fasilitas hunian.
Dari beberapa nagari-nagari, wartawan Haluan melaporkan, kondisi rumah gadang sudah banyak yang roboh, berganti dengan bangunan lain dengan arsitektur yang disesuaikan dengan zaman kekinian. Yang memiriskan, banyak rumah gadang dibiarkan hancur dan ditelan lapuk tanpa penghuni.
Nagari Batipuah Baruah, Tanah Datar
Dari Nagari Batipuah Baruah, Tanah Datar, dilaporkan, salah satu pesukuan suku Koto di Jorong Ladang Laweh, dahulunya memiliki sebuah rumah gadang sembilan ruang selajang kudo berlari. Di rumah gadang itulah penghulunya bergelar Dt Berbangso melakukan rapat-rapat dengan anak kemenankan. Bertahun-tahun, di rumah gadang itu tinggal beberapa keluarga, tetapi kini tinggal cerita. Rumah gadang itu kosong melompong dan lapuk.
“Sebab semuanya kini sudah tinggal di rumahnya masing-masing. Rumah gadang semakin goyah dan menunggu rubuh. Rumah gadang kami sudah lapuk karena sudah lebih usianya 100 tahun, dan belum ada rencana membangun baru,” Kata Dt Berbangso kepada Haluan, Kamis (31/3) di Batipuah Baruah.
Menurutnya, kini membangun rumah gadang seperti masa lalu memang sulit dilakukan. Kalaupun ada bangunan rumah gadang atau rumah asal yang baru, itupun kebanyakan dibangun oleh perantau yang berhasil. Bagi orang yang tinggal di kampung, membangun atau merehabilitasi rumah gadang terasa berat pada biaya.
“Jangankan membangun rumah gadang, sawah penyandang gelar saja sudah banyak tergadai akibat melemahnya ekonomi masyarakat. Menurut adat menggadai itu sebenarnya hanya boleh dilakukan bila rumah gadang katirisan (atap bocor), mayat terbujur di tengah rumah, dan anak gadih alun balaki (bersuami),” kata HMA Dt Rangkai Basa, Ketua Kerapatan Adat Nagari Batipuh Baruah.
Bagi HMA Dt Rangkai Basa, kini yang perlu dipikirkan bersama bagaimana fungsi rumah gadang bisa hidup kembali. Artinya kalangan penghulu pesukuan bisa merumuskan persoalan-persoalan yang terjadi di tengah pesukuan masing masing dengan memungsikan rumah gadang.
Di Batipuh Baruah misalnya, dahulu terdapat 19 buah rumah gadang menurut jumlah pesukuan dari 7 suku yang terdapat di Batipuh Baruah. “Dan rumah gadang itu, sebagian terancam roboh,” katanya.
Nagari Kota Gadang, Agam
Dari Agam dilaporkan, ternyata mencari rumah gadang di nagari-nagari belahan barat Agam ini cukup sulit karena sebagian besar rumah asal sudah hancur dimakan zaman, dan hilang dibongkar pemiliknya.