Welcome

Hai semua!

Welcome To My Blog!

Selasa, 12 April 2011

Melongok Usaha Batu Nisan: Tak Pernah Sepi Pesanan

Dibawah bengkel kerja sederhana yang berada disamping jembatan Purus, terlihat seorang lelaki tua yang gigih mengolah batu nisan, pusara, dan prasasti. Dengan sendok semen dia mengaduk dan mengolah karyanya tersebut.
Lelaki tua itu bernama Burhan (64), yang akrab dipanggil Buyuang Tando (Buyung Tanda). Pekerjaan membuat batu nisan, pusara, dan prasasti menjadi mata pencahariannya untuk menghidupi keluarganya.
“Ini usaha orangtua saya sejak 1953. Setelah beliau meninggalkan kami, tahun 1995 saya melanjutkan pekerjaan ini,” ujarnya pada Haluan, Senin (11/4) dengan bangga.
Pria yang akrab disapa Buyuang Tando ini sangat optimis menggeluti usaha ini. Dari usaha ini sebulannya ia bisa menggantongi 5 juta rupiah. Itu angka minimal, jika banyak orderan, dalam sehari ia bahkan kadang-kadang menerima 3 juta dalam sehari. “Seharinya, minimal 2 pesanan nisan, harganya 300-an,” terangnya.
Untuk membuat batu nisan, pusara dan prasati itu ia membutuhkan lima karung semen per bulan, satu truk pasir untuk tiga bulan, satu truk kerikil juga untuk tiga bulan. Selain itu ia juga membutuhkan  cat minyak ditambah tiner.
Ia memilih cat merk kuda terbang. Menurutnya, cat ini tahan panas dan hujan. Berbeda halnya dengan cat yang lain, sangat cepat terkikis oleh hujan dan panas.
Pendapatan dari pekerjaan yang ia geluti, Buyuang Tando dengan mudah menyekolahkan 8 orang anaknya. Hal yang sangat disayangkannya ialah ketika anak-anaknya menolak untuk bekerja seperti ini.
Karena, “takut mengerjakan pekerjaan ini karena berhubungan dengan mayat”, sembari tangannya menunjuk-nunjuk batu nisan yang ada disampingnya.
“Saya juga pernah ajak orang untuk membantu pekerjaan ini, tapi tak ada yang mau. Alasannya, gak mau urusan sama orang meninggal. Padahal, gini-gini hasilnya bagi saya cukuplah,” ia tertawa mengingat penolakan orang-orang untuk bekerja padanya.
Untuk membuka tempat usahanya yang sederhana dipondok kecil, berukuran 5x4 meter itu, ia mulai jam 08.00 WIB dan sorenya, sekitar jam 17.00 WIB ia tutup. Setiap siang, sang istri Hartati (61) mengantarkan makan siang.
Jika pekerjaannya telah selesai, dirumah, Buyuang Tando, istirahat sambil membaca ayat-ayat Qur’an. “Paliang pulang, ngaji,” ujarnya.

Tulisan saya dengan Rara Handayani
Dimuat di koran Haluan (12/4/2011), halaman 20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar