Welcome

Hai semua!

Welcome To My Blog!

Jumat, 29 April 2011

Rumah Gadang: Lakang Dek Paneh, Lapuak Dek Hujan


KONDISI UMUM rumah gadang atau rumah asal hampir penjuru nagari di Sumatera Barat memprihatinkan. Sebagian besar sudah roboh, lapuk, dan hilang. Rumah gadang sebagai salah satu bentuk ikatan komunal atau pesukuan, nyaris tak berfungsi lagi. Apa yang menjadi faktor penyebabnya?
Pergeseran pola hidup masyarakat Minang menjadi salah satu penyebab mulai hilangnya pola dan fungsi-fungsi ruang di rumah gadang (rumah adat Minangkabau). Pergeseran itu tidak lepas dari meningkatnya aktivitas masyarakat Minang khususnya yang masih menggunakan rumah gadang sebagai fasilitas hunian.
Dari beberapa nagari-nagari, wartawan  Haluan melaporkan, kondisi rumah gadang sudah banyak yang roboh, berganti dengan bangunan lain dengan arsitektur yang disesuaikan dengan zaman kekinian. Yang memiriskan, banyak rumah gadang dibiarkan hancur dan ditelan lapuk tanpa penghuni.
Nagari Batipuah Baruah, Tanah Datar
Dari Nagari Batipuah Baruah, Tanah Datar, dilaporkan, salah satu pesukuan suku Koto di Jorong Ladang Laweh, dahulunya memiliki sebuah rumah gadang sembilan ruang  selajang kudo berlari. Di rumah gadang itulah penghulunya bergelar Dt Berbangso melakukan rapat-rapat dengan anak kemenankan. Bertahun-tahun, di rumah gadang itu tinggal beberapa keluarga, tetapi kini tinggal cerita. Rumah gadang itu kosong melompong dan lapuk.
“Sebab semuanya kini sudah tinggal di rumahnya masing-masing. Rumah gadang semakin goyah dan menunggu rubuh. Rumah gadang kami sudah lapuk karena sudah lebih usianya 100 tahun, dan belum ada rencana membangun baru,” Kata Dt Berbangso kepada Haluan, Kamis (31/3) di Batipuah Baruah.
Menurutnya, kini membangun rumah gadang seperti masa lalu memang sulit dilakukan. Kalaupun ada bangunan rumah gadang atau rumah asal yang baru, itupun kebanyakan dibangun oleh perantau yang berhasil. Bagi orang yang tinggal di kampung, membangun atau merehabilitasi rumah gadang terasa berat pada biaya.
“Jangankan membangun rumah gadang, sawah penyandang gelar saja sudah banyak tergadai akibat melemahnya ekonomi masyarakat. Menurut adat menggadai itu sebenarnya  hanya boleh dilakukan bila rumah gadang katirisan (atap bocor), mayat terbujur di tengah rumah, dan anak gadih alun balaki (bersuami),” kata HMA Dt Rangkai Basa, Ketua Kerapatan Adat Nagari Batipuh Baruah.
Bagi HMA Dt Rangkai Basa, kini yang perlu dipikirkan bersama bagaimana fungsi rumah gadang bisa hidup kembali. Artinya kalangan penghulu pesukuan bisa merumuskan persoalan-persoalan yang terjadi di tengah pesukuan masing masing dengan memungsikan rumah gadang.
Di Batipuh Baruah misalnya, dahulu terdapat  19 buah rumah gadang menurut jumlah pesukuan dari 7 suku yang terdapat di Batipuh Baruah. “Dan rumah gadang itu, sebagian terancam roboh,” katanya.
Nagari Kota Gadang, Agam
Dari Agam dilaporkan, ternyata mencari rumah gadang di nagari-nagari belahan barat Agam ini cukup sulit karena sebagian besar rumah asal sudah hancur dimakan zaman, dan hilang dibongkar pemiliknya.

Walau demikian, di Nagari Koto Gadang , Kecamatan Tanjung Raya, masih ditemukan setidaknya 3 unit rumah gadang. Satu unit di antaranya sudah tidak dihuni pemiliknya tapi masih tetap dirawat.
Sanibar, (70), pemilik rumah gadang di Jorong Ateh, Nagari Kota Gadang menuturkan, rumah gadang milik kaummnya itu setidaknya sudah berumur 100 tahun. Dulu didirikan oleh Angku Lareh Koto Gadang, yang masih terbilang kakeknya.
Dari pantauan Haluan, rumah gadang itu sudah tua dan agak reot. Lantainya dari kayu arikir minyak sudah banyak yang lapuk dimakan usia. Atap bocor. Ukiran pada bagian atas pintu dan jendela sengaja dirusak di zaman Jepang. Rumah gadang itu berlantai datar, pertanda keluarga kaumnya menganut faham Dt Perpatiah Nan Sabatang. Kamarnya ada 4, dilengkapi dengan dapur dan kamar penyimpanan peralatan dapur. Rumah gadang itu ditinggal karena putra-putri Nek Iba merantau. Ia sendiri merasa “lingau” tinggal sendirian di rumah gadang itu, makanya ia membangun kedai di depan rumah. Di sanalah ia tinggal.
Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Koto Gadang, Muchtar Dt. Asa Rajo Nan Kuniang, menyebutkan, rumah gadang di nagari itu memang sudah langka. Dulu banyak, sudah banyak hancur dimakan usia, dan ada pula yang dibongkar pemiliknya, karena sudah tidak mungkin ditempati. Pemiliknya adalah pasukuan Pili dan Caniago.
Kendati kondisi rumah gadang Sanibar sendiri mengaku tidak akan menjual rumah gadangnya kepada siapa pun. Karena rumah gadang itu merupakan pusaka kaum, yang merupakan simbol kejayaan kaumnya, pasukuan Pili.
Wali Nagari Koto Gadang, E Dt Bandaro mengatakan, salah satu penyebab rumah gadang tidak ditempati lagi adalah akibat kemajuan zaman. Pasangan suami istri akan merasa lebih senang tinggal di rumah sendiri, yang juga dibangun dengan hasil keringat  mereka sendiri, ketimbang hidup bersama di rumah gadang.
“Walau banyak keluarga yang tak menghuni rumah gadang, tetapi tali kekerabatan mereka tetap terjaga. Bila ada pekerjaan yang membutuhkan bantuan anggota kaum, seperti “baralek” dan kemalangan, maka seluruh anggota kaum akan bersatupadu membantu dunsanak mereka yang membutuhkan bantuan itu.
Nagari Abai, Solok Selatan
Dari Nagari Abai Kecamatan Sangir Batang Hari, Solok Selatan, di nagari ini terdapat rumah gadang terpanjang di Sumatra Barat. Rumah gadang yang memiliki 21 ruang dan 14 gonjong tersebut milik suku Melayu Kampung Dalam, dengan pimpinan Tuanko Rajo Lelo.
Di antara 14 rumah gadang milik suku 14 di Abai, memang rumah tersebut yang terpanjang. Semua bangunan rumah gadang berstruktur kelarasan Caniago, karena terlihat tidak adanya tingkatan-tingkatan, di bagian anjungannya. Dalam filosofinya, tagak samo randah, duduk samo tinggi. Meski di antara suku Caniago, terdapat juga pabalahan dari lareh koto Piliang, diantaranya: Kampai, Sikumbang, Panai dan Kutianyia.
Menurut Datuk Rajo Penghulu (73), pimpinan adat dari suku Tigo Lareh yang mempunyai rumah gadang 14 ruang, kebanyakan rumah gadang di Abai tidak lagi digunakan sebagai tempat tinggal. Tetapi digunakan dalam prosesi adat, musyawarah suku, dan prosesi kematian.
“Dalam prosesi kematian biasanya si mayat dikafani di bagian depan rumah gadang,” katanya.
Sebagian besar rumah gadang panjang di Abai sudah direhabilitasi, yang bangunan dindingnya disemen. Datuk Rajo Penghulu menambahkan, bahwasanya memang selayaknya rumah gadang tidak disemen dan dipertahankan bentuk aslinya. Akan tetapi, beberapa tahun belakangan pihak pemerintah ingin menjadikan rumah gadang panjang di Nagari Abai sebagai tempat wisata.
“Tapi di bagian tonggak tuo, bagian dalamnya masih kayu asli. Hanya di luarnya saja yang disemen,” tambah Datuk. Ia mengaku, rumah gadang di Abai sangat minim sekali perawatannya. Terlihat dari lantai-lantai papan yang sudah bolong dan dinding di bagian dalam yang penuh corat-coret dari arang.
Bidar Alam
Sebelum menuju Nagari Abai, di Nagari Bidar Alam, sudah tidak terdapat lagi rumah gadang yang layak huni. Terlihat sepanjang jalan Bidar Alam, sisa-sia rangkiang yang masih berdiri dengan ketuannya. Datuk Bandaro Sati, pemuka adat dari suku Tigo Lareh mengatakan, memang sudah tidak ada lagi rumah gadang di daerah sana. Hal ini dikarenakan biaya pembuatan dan perawatannya yang mahal.
Salah seorang pemuda, Rizal (25) mengatakan, pihaknya dari suku Kampai akan membangun lagi rumah gadang milik kamunya, suku Kampai.
“Kami pasamokan. Masing-masing keluarga dikenakan biaya 400 ribu per kepala, bagi yang sudah dewasa dan sudah mempunya pekerjaan. Dalam perencanaannya tahun ini, rumah gadang daru suku mereka akan dibangun dengan mempertahankan bentuk asli, dari bangunan kayu,” kata Rizal. (h/adk/iwandn/msm/har/cw01/cw13/cw14)

Tulisan Saya dan rekan-rekan di muat pada halaman Utama koran Haluan (03/04/2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar