Welcome

Hai semua!

Welcome To My Blog!

Selasa, 29 Maret 2011

Penjual Lompong Sagu Keliling: Dorong Anak-anaknya Untuk Lebih Baik


Dengan mengayuh sepeda bututnya, lelaki tua itu setiap hari keliling menjajakan penganan tradisional di kawasan Air Tawar, Kota Padang. Langganannya, mahasiswa yang tinggal di kawasan kampus Universitas Negeri Padang (UNP). Mereka akrab benar dengan teriakan; Lompong sagu! Lompong sagu! yang biasa diteriakkan lelaki tua itu. Berhujan-berpanas, bagi dia tak menjadi halangan. Hidup adalah bekerja keras, motto yang menjadi pegangan hidupnya.
Namun, siapa sangka, buah ketekunannya berusaha menjajakan lompong sagu itu, tak hanya mampu menghidupi keluarganya, tetapi juga berhasil mengantarkan anak-anaknya ke jenjang kesuksesan. Lelaki tua itu, akrab disapa Pak Mon. Lengkapnya, Pak Armon.
“Alhamdulillah, meski tidak selaris yang dulu, karena sekarang sudah banyak pilihan penganan, pelanggan lompong sagu tetap ada. Asal tekun berusaha, rezeki tetap ada diberi oleh Yang Maha Kuasa,” ujar Pak Mon, sembari menyeka keringatnya.
Bagi sebagian orang, penganan lompong sagu itu mungkin saja asing. Akan tetapi, bila sempat mencicipi, sepertinya sangat saying untuk dilewatkan. “Ternyata, lompong sagu itu enak. Makanan tradisional yang sulit ditemui. Hanya Pak Mon yang rutin menjajakan,” kata Milla, mahasiswi yang kost di kawasan Air Tawar Barat, Padang.
Lompong sagu adalah makanan tradisional Kota Padang, Sumatera Barat. Berbeda halnya dengan Limpiang (makanan sejenis, namun diolah dengan cara direbus), makanan khas dari Payakumbuh, lompong sagu terbuat dari campuran pisang, kelapa, dan gulo anau (gula aren) lalu dibakar dengan kulit pisang.
Pria berusia 60 tahun ini mengolah makanan khas itu mulai dari pukul tiga sore hingga pukul tujuh malam. Setelah itu pada jam delapan malam hingga pagi, beliau berkeliling Kota Padang, dengan semangat dan dengan harapan semuanya bisa terjual.
“Pelanggan saya 90 persen adalah mahasiswa, terutama mahasiswa Universitas Negeri Padang dan Bung Hatta. Sedangkan selebihnya, orang-orang yang sejak mudanya tahu bahwa lompong sagu itu penganan tradisional yang enak,” ceritanya.
Pak Armon yang tinggal di belakan kantor Pekerjaan Umum (PU) Pengairan, Andalas ini mengaku, dengan berjualan lompong sagu semenjak 37 tahun silam, ia mampu menghidupi keluarganya, dengan tujuh orang anak.
Pada masa mudanya, Pak Armon pernha merantau ke Jawa, namun kembali lagi ke Kota Padang karena betah hidup di kota ini. Setelah menamatkan sekolahnya di Sekolah Menengah Negeri 2 Padang, tahun 1970, Pak Armon lebih memilih untuk berdagang. Walaupun pada saat itu ada tawaran bekerja di kantor-kantor pemerintah.
“Saya tak ingin bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena, pada saat itu gaji PNS kecil (Rp9.000 per bulan). Sementara dengan berdagang lompong sagu pendapatan saat itu melebihi gaji PNS,” jelasnya.
Pada awal-awal menjual lompong sagu, kata Pak Armon, sebanyak 5.000 buah dapat terjual per hari, namun pada zaman sekarang rata-rata terjual hanya 100 buah.
Tak hanya Pak Armon. Istrinya, Nurmayenis, selain bekerja sebagai ibu rumah tangga, ia juga menjadi pedagang ketek-ketek (kecil-kecilan) di rumahnya.
Keinginan Pak Armon adalah bagaimana anak-anaknya bisa lulus sekolah dan bisa hidup pada zaman sekarang. Ia berprinsip, anak-anaknya harus tama Sekolah Menengah Atas atau pun sarjana dengan cara yang baik.
Beliau menanamkan prinsip ini kepada anak-anaknya, “Waang kalau ndak tamat SMA, bararti ang ndak anak den doh. Indak bana kasamo jo apak, di ateh apak lah saketek, tapi jaan di bawah apak, sedangkan apak se di tahun 70 tamat SMA. Saba, kalau lai punyo ijazah SMA, lai bisa lah bakarajo” (kamu, kalau tidak tamat SMA, berarti kamu bukan anak saya. Setara dengan pendidikan bapak, di atas bapak lah sedikit, tetapi jangan di bawah bapak, sedangkan bapak sendiri di tahun 1970 tamat SMA. Karena, kalau telah tamat SMA, bisa bekerja), ujarnya.
Berkat prinsip yang ditanamkan kepada anak-anaknya, anak pertama beliau berhasil bekerja sebagai teknisi di Padang TV, anak kedua bekerja di show room sebuah sepeda motor namun telah meninggal dua tahun yang lalu. Anak ketiga menjadi polisi di Polresta Padang. Anak keempat bekerja di supermarket, anak kelima beliau merantau di Pulau Jawa. Anak keenam bekerja di salah satu kantor di Kota Padang. Anaknya yang bungsu masih bersekolah di salah satu SMA Negeri di Padang.
Harapan beliau terhadap pemerintah yakni, mendapatkan bantuan dana agar dapat mengembangkan usahanya. “Kalau bisa, pemerintah mesti memperhatikan pedagang-pedagang kecil seperti saya ini,” tandas Pak Armon yang rendah hati ini.
Nasehat beliau kepada anak-anak muda pada saat ini, “Jujurlah dalam berkata, belajarlah dengan rajin, perkuatlah ilmu di bidang agama, dan jangan pernah menyerah pada masalah yang menimpa diri.”
Setelah selesai berkisah dengan Haluan, lelaki tua itu kembali mengayuh sepedanya. “Lompong sagu…. Lompong sagu…..,” teriaknya.

Mijn schrijven op Haluan krant (25 Maart 2011)
Tulisan saya di koran Haluan (25 Maret 2011)
http://issuu.com/haluan/docs/hln250311 

5 komentar:

  1. bayankan apa jadinya jika sesosok pak Mon penjual lompong sagu tidak ada. mungkin makanan tradisional seperti ini akan punah seiring berkembangnya zaman dengan masuknya menu makanan luar daerah.

    BalasHapus
  2. Kalau tidak ada Pak Mon, mungkin kita semua belum mendapat tamparan dan tersadar, bahwa hidup tidak boleh menyerah. Hidup Pak Mon!!

    BalasHapus
  3. sangat aneh, penduduk asli lebih memilih makanan dari luar drpd makanan asli daerah, padahal makanan daerah jauh lebih cocok di lidah drpd makanan asing,,

    BalasHapus
  4. Betul gan...
    Bayangin aja gitu kan, udah berapa banyak bahan pengawet yg kita dapet dari makanan luar (wajar kalo banyak yg kena kangker)...
    Nah, jika pengen aman dari itu semua, gak ada salahnya kalo kita kembali ke makanan asli daerah kita...

    BalasHapus